Dalam satu kesempatan diskusi, aku dan
temanku membahas mengenai fenomena
mengapa orang yang ilmunya tinggi ketika
tersesat justru tersesatnya jauh sekali dan
menjadi sangat berbahaya.
Seperti seorang pakar agama yang dengan
ketinggian ilmunya justru menjadi sangat
berbahaya bagi agamanya sendiri. Entah
menjadi liberal, pluralis, bahkan ada yang
mengantarkannya menjadi ateis.
Kami membahas ini cukup lama. Sampai
pada kesimpulan kami bahwa saat ini
banyak orang yang melandaskan
kebenarannya pada akal. Kebanggaan pada
kecerdasaan dan pemahamanya sendiri
tapi mengakarkan pemahaman itu pada
satu yang terikat.
Hamka dalam bukunya Pandangan Hidup
Muslim mengatakan bahwa kita bebas
berpikir, namun selalu ingatlah jejak
pikiran kita, agar ketika pikiran kita
tersesat, kita tahu arah jalan pulangnya.
Seperti itulah, saat ini dalam diskusi kami.
Banyak orang yang mulai meninggalkan
landasan berpikir itu. Satu hal yang
menjadi pokok inti agar pikiran kita tidak
mengantarkan kita ke kesesatan. Landasan
berpikir itu adalah keimanan.
Banyak orang yang membanggakan
logikanya, merasa sesuatu yang dipahami
dengan akalnya adalah kebenaran yang
paling benar. Berbantah-bantahan logika
antara orang yang satu dan orang yang lain
pun sering terjadi. Terutama masalah
agama, agama haruslah dipahami dengan
akal, hati, dan keimanan sekaligus. Tidak
bisa secara parsial.
Banyak sekali bantahan mengenai salah
satu masalah agama yang ketika saya
mengamati dan membacanya, saya melihat
adanya hawa nafsu dan keinginan untuk
bermain logika yang cenderung logika itu
menyesatkan banyak orang.
Ketinggian ilmu (agama) tidak akan
mengantarkan seseorang menjadi orang
yang alim jika pikiran orang tersebut tidak
diikat dengan keimanan. Logika manusia
tidak akan mampu mencapai hal-hal yang
pada akhirnya kita akan mengucapakan
“Maha Suci Allah”. Ketaatan pada-Nya akan
diuji dengan ketinggian ilmu.
Semakin tinggi ilmu seseorang maka akan
semakin besar pula
pertanggungjawabannya, maka bertanyalah
mengenai ilmu, carilah kebenaran dari
banyak tempat dan sumber, agar kita tidak
tersesat dalam alam pikiran kita sendiri.
Pikiran ikatlah dengan keimanan, agar
sejauh apapun kita berpikir, kita akan
kembali kepada satu pijakan, “Maha Suci
Allah”.